Sumiarsih telah pergi untuk selamanya di usia 58 tahun dengan cara dieksekusi mati. Namun beberapa hari menjelang eksekusi di dalam lembaga pemasyarakatan wanita di Malang, Jawa Timur, sosok Sumiarsih masih terlihat sehat dan tegar. Tak nampak kegelisahan seperti yang dialami terpidana mati lainnya. "Semuanya tergantung kepada Tuhan saja. Walaupun Tuhan menghendaki diri saya meninggal dengan cara dieksekusi, saya percaya itu cara Tuhan yang terbaik untuk saya," itulah pengakuan terakhir Sumiarsih kepada reporter SCTV. Berikut di bawah ini adalah kesaksian Sumiarsih kepada Tim "Solusi".
Namaku Sumiarsih. Dahulu aku seorang mucikari yang mengurusi bisnis pelacuran di Gang Doli, Surabaya. Ternyata, mengelola bisnis seperti ini membutuhkan dana yang cukup besar dan untuk mencukupi kebutuhan anak-anak buahku, aku meminjam sejumlah uang pada Letkol Marinir Purwanto. Satu kali, Purwanto datang dan menagih piutangnya. Dengan mengancam-ancam, ia menagih dan aku merasa sangat tertekan dan ketakutan karenanya. Sampai akhirnya, timbul pikiran pendek di kepalaku untuk membunuhnya. Ide ini kemudian aku utarakan kepada suamiku Jai, anakku Sugeng, dan menantuku Adi Saputra . Kami berembuk dan sepakat untuk membunuh Purwanto di rumahnya dimana Adi Saputra dan Sugeng bertindak sebagai algojo menghabisi keluarga Purwanto.
Pada hari yang telah ditentukan, kami berempat datang berkunjung ke rumah kediaman Purwanto. Pintu diketuk dan kami diterima oleh istri Purwanto yang membuka pintu dan mempersilakan kami masuk. Saat istri Purwanto sedang berada di dapur, muncul anak laki-laki Purwanto. Seketika itu, tragedi pembunuhan pun berlangsung. Adi langsung menghantam kepala sang anak dengan martil hingga tewas. Segera setelah sang anak tewas, Sugeng dan Adi beranjak ke dapur dan langsung menghantam kepala istri Purwanto yang sedang membuat minuman. Kini, tinggal menunggu Purwanto pulang. Tak lama Purwanto pun muncul. Kami yang duduk di ruang tamu langsung menyambutnya dan sempat berbicang-bincang sejenak. Seperti yang telah direncanakan, Sugeng dan Adi menghantam kepala Purwanto hingga tewas.
Perbuatan jahat yang kami lakukan rupanya cepat tercium oleh pihak kepolisian. Lima hari setelah pembunuhan, polisi berhasil melacak, meringkus dan kemudian menahan kami di dalam penjara. Setelah menjalani masa-masa persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis hukuman mati bagi kami sekeluarga. Waktu aku divonis hukuman mati, aku sangat ketakutan. Apalagi setelah menantu dan anakku dieksekusi pada 30 November 1988, aku jarang bisa tidur. Aku merasa sangat sedih, takut dan menyesali perbuatanku. Berulang kali aku coba untuk lari atau bunuh diri, tapi tidak berhasil.
Di lain pihak, aku juga telah mencoba mengajukan grasi. Pada 28 Juni 1995, aku mengajukan grasi kepada Presiden Soeharto dan ditolak. Di situ aku kembali tepekur dan meratapi hari-hari penantian yang terasa kian menyiksa. Aku merasa cemas dan depresi berat. Di saat-saat penantian yang panjang itulah seorang hamba Tuhan menemuiku dan berbicara tentang Tuhan Yesus. Hamba Tuhan itu terus menerus mengatakan bahwa walaupun manusia tidak bisa mengampuniku, tetapi Tuhan mau mengampuni diriku dan menyelamatkan jiwaku. Begitu mendengar senantiasa bahwa Tuhan bisa mengampuni, imanku pun timbul. Sejak itu ada kerinduan yang dalam untuk mengenal Tuhan dan aku pun mulai membaca firman-Nya setiap hari. Melalui pergumulan di dalam hati, aku mengalami pertemuan pribadi dengan Tuhan Yesus dan aku, Sumiarsih, menyesali perbuatan jahat yang pernah aku lakukan.
Yang terutama, aku menyesal dan sangat berdosa kepada keluarga korban. Kedua, aku menyesal dan berdosa kepada anak dan keluargaku yang turut menjadi korban akibat perbuatanku. Khususnya, anakku Sugeng. Sebagai manusia, aku berharap kepada Tuhan, bagaimana pun aku berkeinginan mati bukan di tangan manusia atau diekseskusi tetapi atas kehendak Tuhan sendiri. Aku percaya, apapun yang terjadi, bila eksekusi dilaksanakan, aku juga tidak apa-apa karena aku memang bersalah dan itu mungkin kehendak Tuhan yang terbaik buatku dan karena aku sudah percaya bahwa Tuhan Yesus sudah selamatkanku. Kalaupun aku harus dihukum mati, aku sudah siap karena Tuhan telah menganugerahkan nyawa-Nya dengan cuma-cuma untuk menyelamatkanku dari kematian kekal di neraka nanti.
Pada 3 Februari 2003, permohonan grasi yang saya ajukan kepada Presiden Megawati kembali ditolak dan aku harus tetap menghadapi penantian hukuman mati. Walaupun begitu, aku yakin dan percaya pada kasih Tuhan. Sisa-sisa hidup kita ini hanya untuk Tuhan karena Tuhan sudah menganugerahkan keselamatan bagi kita, anak-anak Tuhan, secara cuma-cuma. Walaupun dosa kita tidak terhitung, tetapi Tuhan Yesus sudah menebus kita semua di atas kayu salib dengan pengorbanan-Nya. (Kisah ini sudah ditayangkan 14 Juli 2008 dalam acara Solusi di SCTV)
"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (II Timotius 4:7).
Sumber kesaksian:
Sumiarsih
Sumber : V080807210730